Pada umumnya pembahasan tentang wakaf di tengah masyarakat berkisar tentang benda baik benda yang tidak bergerak maupun benda yang bergerak, padahal selain benda ada pendapat yang menyatakan bahwa wakaf dapat dilakukan tanpa mewakafkan bendanya tapi yang diwakafkan adalah manfaat atau hasil harta benda milik dan manfaat harta benda sewa yang selanjutnya disebut dengan wakaf manfaat. Wakaf manfaat memang tidak begitu dikenal oleh masyarakat di Indonesia yang dalam persoalan ibadah termasuk wakaf mengambil pendapat-pendapat dari mazhab Syafi’i. Dalam mazhab Syafi’i wakaf manfaat tidak dikenal bahkan tidak diperbolehkan karena wakaf menurut mazhab Syafi’i adalah “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tesebut, disalurkan pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.” Dari definisi ini jelas bahwa wakaf dilakukan terhadap harta benda dan menyalurkan manfaatnya, sedangkan wakaf manfaat hanya mewakafkan manfaat harta benda bukan harta bendanya yang diwakafkan.
Lantas, mazhab apa yang membahas dan memperbolehkan wakaf manfaat? Wakaf manfaat dibahas dan diperbolehkan oleh mazhab Maliki sebagaimana dijelaskan dalam pengertian wakaf menurut mazhab Maliki yaitu menjadikan manfaat harta benda milik meskipun dengan sewa atau hasilnya untuk mauquf alaih (penerima manfaat) untuk jangka waktu yang diinginkan oleh wakif (wakaf sementara atau wakaf selamanya). Mazhab maliki berpendapat bahwa yang diwakafkan adalah manfaat harta benda milik atau manfaat harta benda sewa atau hasil harta benda milik, bukan harta bendanya yang diwakafkan karena harta bendanya tetap menjadi milik wakif meskipun wakif tidak boleh melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta benda tersebut.
Ada dua pertimbangan mengapa manfaat dapat diwakafkan: pertama, manfaat merupakan objek akad baik akadnya dengan harta bendanya maupun akadnya terhadap manfaatnya saja tanpa harta bendanya, misalnya akad sewa yang jadi objek sewa adalah manfaat. Kedua, manfaat dianggap sebagai harta karena harta diciptakan untuk kemaslahatan manusia, demikian juga manfaat. Benda tidak akan menjadi harta kecuali benda itu bermanfaat, maka benda yang tidak bermanfaat bukan sebagai harta. Demikian juga syariat membolehkan manfaat sebagai mahar, padahal mahar itu adalah harta. Jadi manfaat dianggap sebagai harta.
Pembahasan tentang wakaf manfaat terbagi menjadi tiga masalah yaitu: wakaf harta benda dan manfaatnya, wakaf harta benda tanpa manfaatnya, dan wakaf manfaat tanpa harta bendanya baik manfaatnya berupa benda maupun bukan benda.
Pertama: wakaf harta benda dan manfaatnya. Wakaf jenis ini sebagai asal disyariatkannya wakaf, ketika disebutkan wakaf maka wakafnya terdiri atas harta benda dan manfaatnya. Para fuqaha mendefinisikan wakaf sebagai “menahan harta benda dan mensedekahkan manfaatnya”, maka manfaat sebagai dasar dari wakaf sehingga jika tidak ada manfaat yang diharapkan dari wakaf maka wakaf tidak ada faidahnya. Untuk itu, di antara syarat harta benda yang akan diwakafkan adalah harta benda yang bermanfaat sehingga apabila yang diwakafkan bukan harta benda yang bermanfaat maka wakafnya tidak sah.
Kedua, wakaf harta benda tanpa manfaatnya. Jika ada wakif yang mewakafkan harta benda miliknya dengan mengecualikan manfaatnya untuk jangka waktu tertentu atau selama wakif masih hidup, apakah hal ini diperbolehkan? Sebagai contoh seseorang mewakafkan tanah dengan mengecualikan hasilnya, atau seseorang mewakafkan hewan untuk tunggangan dengan mengecualikan susunya dan anaknya. Ada dua kondisi dalam masalah ini sebagai berikut:
Kondisi pertama: mengecualikan manfaat wakaf semuanya. Mengenai kebolehan mengecualikan manfaat wakaf untuk jangka waktu tertentu atau selama wakif masih hidup, ada dua pendapat fuqaha, pendapat pertama: boleh mengecualikan manfaat wakaf untuk jangka waktu tertentu atau selama wakif masih hidup. Pendapat ini merupakan pendapat mazhab Hanbali, Abu Yusuf dari mazhab Hanafi, Ibnu Suraih dari mazhab Syafi’i, Ibnu Abi Laeli, dan Ibnu Syubromah. Pendapat kedua: tidak boleh mengecualikan sesuatu dari wakaf karena apabila sudah terjadi ikrar wakaf maka seluruh manfaatnya menjadi milik mauquf alaih (penerima manfaat). Pendapat ini merupakan pendapat mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan Muhammad bin Hasan dari mazhab Hanafi.
Kondisi kedua, mengecualikan sebagian manfaat harta benda wakaf. Sebagai contoh seseorang mewakafkan hewan untuk tunggangan dengan mengecualikan susunya dan anaknya. Para fuqaha telah menetapkan kebolehan wakaf tersebut selama masih ada manfaat yang diwakafkan. Jika ada wakaf seperti itu, maka manfaat yang dikecualikan oleh wakif tidak termasuk dalam wakaf. Hal ini termasuk syarat wakif yang diperbolehkan.
Ketiga, wakaf manfaat tanpa harta bendanya.
Berikut ini beberapa contoh wakaf manfaat tanpa harta bendanya: wakif mewakafkan hasil pertanian dan buah-buahan, susu hewan dan anaknya, hak-hak yang bernilai uang seperti hak pengarang, dan hak cipta, atau mewakafkan penggunaan benda seperti menempati rumah, menaiki kendaraan, membaca buku, dan sebagainya yang termasuk manfaat yang bukan benda. Semua itu tanpa mewakafkan harta benda yang darinya muncul hasil, hak-hak, dan manfaat yang bukan benda. Menurut mazhab Maliki dan Ibnu Taimiyah wakaf manfaat dibolehkan karena bagi mereka manfaat itu harta yang dimiliki sehingga boleh diwakafkan. Sementara menurut mayoritas ulama, wakaf manfaat tidak diperbolehkan karena beberapa sebab: Pertama, wakaf mengharuskan untuk menahan bendanya agar dapat mewujudkan manfaat sepanjang waktu, sedangkan wakaf manfaat tanpa bendanya tidak dapat mewujudkan hal tersebut. Kedua, dalam wakaf yang menjadi pokoknya adalah harta benda dan cabangnya adalah manfaat, cabang harus mengikuti pokoknya dan tidak terpisah dari pokoknya. Ketiga, manfaat tidak mungkin ditetapkan atau belum ada pada saat wakaf sehingga tidak boleh diwakafkan. Keempat, tidak ada nash yang membolehkan wakaf manfaat, yang ada nash yang menjelaskan wakaf harta benda. Masalah ketiadaan nash ini tidak seharusnya menjadi alasan karena akan muncul pendapat seperti zakat tidak wajib kecuali yang sudah ada nashnya, tidak ada riba kecuali yang sudah dijelaskan oleh nash, dan sebagainya.
Dalam wakaf manfaat, harta benda tetap menjadi milik pemiliknya yang ahli warisnya berhak mewarisinya, pemiliknya boleh melakukan tindakan apapun atas harta benda itu kecuali tindakan yang menghalangi penerima manfaat memperoleh manfaat wakaf. Pertanyaannya untuk apa pemilik harta benda memertahankan kepemilikannya padahal manfaatnya sudah tidak diperoleh karena telah diwakafkan. Jawabannya, masih ada manfaat yang diperoleh pemilik harta di antaranya: Pertama, terkadang suatu harta benda menghasilkan banyak manfaat, sebagian manfaat itu diwakafkan dan sebagiannya lagi diambil manfaatnya oleh pemilik harta, Kedua, terkadang manfaat diwakafkan untuk jangka waktu sementara bukan untuk untuk jangka waktu selamanya sebagaimana yang dibolehkan menurut mazhab Maliki. Dalam kondisi ini wakaf terjadi terhadap manfaat harta benda bukan terhadap harta bendanya. Ketiga, kepemilikan merupakan sebuah tujuan yang diakui meskipun pemiliknya tidak memperoleh hasil atau manfaat. Keempat, terkadang harta benda itu adalah manfaat dan hak bukan materi seperti hak irtifaq (hak atas air irigasi, hak kanal atau saluran air, hak lewat, hak saluran pembuangan air, dan sebagainya), hak-hak maknawi (perizinan, hak cipta, dan sebagainya), dan manfaat pekerjaan di mana wakafnya bukan terhadap pekerjanya tetapi terhadap pekerjaaannya atau profesinya.
Fuqaha yang membolehkan wakaf manfaat, menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan tujuan wakaf yang sesuai syariah, yaitu: Pertama, manfaat yang diwakafkan harus dari harta benda yang halal. Kedua, manfaat yang diwakafkan adalah manfaat yang halal. Ketiga, manfaat yang diwakafkan milik wakif. Bagaimana dengan orang yang memiliki manfaat saja tanpa memiliki bendanya, seperti orang yang menyewa rumah kemudian ia wakafkan penempatan rumah itu? Mazhab Maliki membolehkan wakaf manfaat secara mutlak baik wakifnya memiliki bendanya atau tidak memilikinya, atau memiliki manfaat selamanya atau sementara. Sementara Ibnu al-Hajiz dan Ibnu Syas tidak membolehkan wakaf manfaat yang diperoleh dari sewa. Keempat, manfaat yang diwakafkan dapat diwujudkan.
Kebolehan wakaf manfaat dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat, misalnya penyediaan tempat tinggal atau asrama bagi fakir miskin, anak yatim, pelajar/mahasiswa, gelandangan atau tuna wisma, sarana transportasi untuk dai, pelajar, layanan kesehatan dari dokter, layanan pendidikan dari guru atau dosen, layanan pekerjaan atau jasa dari berbagai profesi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut jika terpenuhi berdampak besar dalam mewujudkan kesejahteraan dan tujuan syariah.
Sesungguhnya praktiknya sudah ada dan banyak di tengah masyarakat, hanya saja kebanyakan tidak menganggapnya sebagai wakaf padahal hal itu termasuk wakaf manfaat menurut yang membolehkannya, seperti seseorang yang memiliki banyak rumah, di antara rumahnya itu ditempati oleh orang lain atau untuk asrama penghapal al-Qur’an tanpa membayar sewa, gedung atau kantor yang ditempati tanpa dikenakan sewa, kendaraan motor atau mobil yang digunakan untuk antar jemput pelajar, dai tanpa dipungut bayaran, dan sebagainya.
Meskipun wakaf manfaat memiliki dampak besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hanya saja peraturan-perundang-undangan tentang wakaf tidak mengakomodirnya sebagai wakaf. Wakaf yang diatur dalam peraturan perundang-undangan hanya meliputi wakaf benda baik benda tidak bergerak maupun benda bergerak. Hanya saja, ketika mengatur benda bergerak yang dapat diwakafkan disebutkan antara lain hak kekayaan intelektual yang menurut fuqaha yang membolehkan wakaf manfaat, hak kekayaan intelektual termasuk wakaf manfaat.
Penulis: Dr. Fahruroji, Lc, MA